Friday, November 12, 2010

Teman Syifa selain ASI

As mom of course ingin memberikan yang terbaik buat si buah hati, dengan niatan akan memberikan ASI ekslusif sampai 6 bulan (tidak diberi asupan apapun selain ASI)..hmmm tapi cita-cita bunda nya syifa gak kesampaian..

Niatan awal cuti tahunan dijalankan pada pertengahan november, karena stok ASI syifa menipis dan bila cuti tetap diambil seperti schedul awal, bisa bisa mimi nya syifa ditemani susu formula..jadi diambil lah langkah memajukan cuti tahunan di tanggal 7 oktober sd 13 oktober 2010.

Di rumah asik main sama syifa diselangi waktu dengan memerah susu buat stok, sambil searching - searching di internet cari menu makanan pendamping ASI yang tepat buat syifa, ketemulah dengan situs produk tepung organik yang bisa buat makanan bayi yang sepertinya cocok dengan kondisi bunda sebagai non Ibu Rumah Tangga..

Dan disisipan artikel tersebut dikatakan bahwa "bila dirasa bobot bayi kurang, makanan pendamping bisa diberikan dari usia bayi 4 bulan". Bismillah akhirnya aku memutuskan memberikan Pisang sebagai makanan perdana syifa dengan porsi setengah pisang ambon semi cair demi menjaga kondisi usus syifa yang masih riskan, karena belum 6 bulan.

Niy syifa lagi maem..nyam..nyam..nyam


Kalau gak salah produk gasol baru aku berikan pada saat syifa 2 hari menjelang 6 bulan, walaupun sebenarnya stok tepung gasol sudah tersedia, karena ada rasa takut memberikan syifa makan di usia belum genap 6 bulan dan di hari kedua syifa makan, tepung gasol kacang hijau yang ak buat buat makan syifa terlalu encer dan alhasil syifa malah rewel pada saat makan, akhirnya tepung kacang hijau aku istirahatkan dulu di kulkas.


Kalau soal makan, syifa gembul..alhamdulillah banget. yang menjadi pemikiran sejak aku hamil adalah anak ku akan sama pola makannya dengan kondisi pola makan ku saat hamil..tapi pemikiran manusia gak menjadi kenyataan..thanks god !

Walaupun dari umur 5 bulan jalan 1 minggu syifa udah makan, bunda masih punya kebanggaan bisa memberikan ASI sampai usia Syifa 6 bulan jalan 1 minggu, setelahnya ASI ditemani dengan susu Formula Nutrilon 2.



"Suatu kebanggan seorang Bunda selain dapat memberikan ASI adalah melihat si buah hati tumbuh sehat dan Cerdas.."

Friday, November 5, 2010

HAK ISTERI ATAS SUAMI

Syari’at mewajibkan kepada suami untuk memenuhi
kebutuhan isterinya yang berupa kebutuhan material
seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan
sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing, atau
seperti yang dikatakan oleh Al Qur’an “bil ma’ruf”
(menurut cara yang ma’ruf/patut)
Namun, Syari’at tidak pernah melupakan akan
kebutuhan-kebutuhan spiritual yang manusia tidaklah
bernama manusia kecuali dengan adanya
kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang
pujangga kuno: “Maka karena jiwamu itulah engkau
sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu.”

Bahkan Al Qur’an menyebut perkawinan ini sebagai salah
satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta dan
salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar Rum:
21)
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami
isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang
antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek
kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan
bersuami isteri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi
ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.
Dalam hal ini banyak suami yang keliru – padahal diri
mereka sebenarnya baik – ketika mereka mengira bahwa
kewajiban mereka terhadap isteri mereka ialah memberi
nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang
lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (isteri) itu
bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan
lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan
perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang
manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra,
pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang
lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan
kegundahan.
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan
adab pergaulan diantara mereka yang kehidupan
berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu.
Diantara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan
Sunnah itu ialah berakhlak yang baik terhadapnya dan
sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:
“… Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara
yang ma’ruf (patut) …, An Nisa’: 19)
“… Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat.” (An Nisa’: 21 )
“… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak,
karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ….” (An Nisa:
36)
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “teman
sejawat” dalam ayat di atas ialah isteri.
Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa berakhlak baik
kepada mereka (isteri) bukan cuma tidak menyakiti
mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan
penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah,
sebagaimana diteladankan Rasulullah saw. Isteri-isteri
beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi
perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari
mereka menghindari beliau sehari semalam.
Beliau pernah berkata kepada Aisyah, “Sungguh, aku tahu
kalau engkau marah dan kalau engkau rela.” Aisyah
bertanya, “Bagaimana engkau tahu?” Beliau menjawab,
“Kalau engkau rela, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan
Muhammad,’ dan bila engkau marah, engkau berkata,
‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’ Aisyah menjawab, “Betul,
(kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut
namamu.”
Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat
ditambahkan bahwa disamping bersabar menerima atau
menghadapi kesulitan isteri, juga bercumbu, bergurau,
dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian
itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah saw.
biasa bergurau dengan isteri-isteri beliau dan
menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak
dan berakhlak, sehingga diriwayatkan bahwa beliau
pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar r.a. – yang dikenal berwatak keras itu – pernah
berkata, “Seyogyanya sikap suami terhadap isterinya
seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada
disisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah
seorang laki-laki.”
Dalam menafsirkan hadits: “Sesungguhnya Allah membenci
alja’zhari al-jawwazh,” dikatakan bahwa yang dimaksud
ialah orang yang bersikap keras terhadap isteri
(keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini
merupakan salah satu makna firman Allah: ‘utul. Ada
yang mengatakan bahwa lafal ‘utul berarti orang yang
kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah
saw. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan
banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah
dan menegakkan agama, memelihara jama’ah, menegakkan
tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan
musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau
tetap sangat memperhatikan para isterinya. Beliau
adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan
Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an,
dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena
lamanya berdiri ketika melakukan shalat lail, dan
menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
Namun, sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan
hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau penuhi.
Jadi, aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau
terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan
memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang
tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan
perut dan pakaian penutup tubuh.
Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau
dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:
“Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya ialah
bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah
menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain.
Apabila isterinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang
tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila
Aisyah minum dari suatu bejana, maka beliau ambil
bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau
letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi
(bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan beliau
juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah.”
Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau
membaca Al Qur’an sedang kepala beliau berada di
pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh,
beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau
memeluknya. Bahkan, pernah juga menciumnya, padahal
beliau sedang berpuasa.
Diantara kelemahlembutan dan akhlak baik beliau lagi
ialah beliau memperkenankannya untuk bermain dan
mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi
ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah)
menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat
permainan orang-orang Habsyi itu. Beliau juga pernah
berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari
rumah bersama-sama.
Sabda Nabi saw:
“Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap
keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik
terhadap keluargaku.”
Apabila selesai melaksanakan shalat ashar, Nabi
senantiasa mengelilingi (mengunjungi) isteri-isterinya
dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba
beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu
tiba giliran beliau untuk bermalam. Aisyah berkata,
“Rasulullah saw. tidak melebihkan sebagian kami
terhadap sebagian yang lain dalam pembagian giliran.
Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu
mendekati tiap-tiap isteri beliau tanpa menyentuhnya,
hingga sampai kepada isteri yang menjadi giliran
beliau, lalu beliau bermalam di situ.”1
Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip disini
mengenai petunjuk Nabi saw. tentang pergaulan beliau
dengan isteri-isteri beliau, kita dapati bahwa beliau
sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka,
dan mendekati mereka. Tetapi beliau mengkhususkan
Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan berarti
beliau bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk
menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih
perawan dan karena usianya yang masih muda.
Beliau mengawini Aisyah ketika masih gadis kecil yang
belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau.
Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki
lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih
tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan
kebutuhan disini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan
hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan
spiritualnya lebih penting dan lebih dalam daripada
semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita
lihat Nabi saw. selalu ingat aspek tersebut dan
senantiasa memberikan haknya serta tidak pernah
melupakannya meskipun tugas yang diembannya besar,
seperti mengatur strategi dakwah, membangun umat, dan
menegakkan daulah.
“Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang
bagus bagi kamu.”
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

http://ariefhikmah.com

PERCERAIAN

Kita mengupas hal ini agar kita dapat menghindarinya dan sekaligus kita mencari lebih jauh mengapa lantas terjadi perceraian ? Mengapa kita sering mendengar begitu gampang orang kawin dan begitu gampang cerai ? Kalau orang gampang untuk kawin, itu bagus, tapi jangan sampai menggampangkan perceraian.
Rasulullah bersabda “Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah adalah perceraian”. Ini menunjukkan di satu sisi bahwa terkadang perceraian itu tidak bisa dihindari sehingga jika ada satu pasangan yang memang tidak ada kecocokan masih dipaksakan untuk terus, itu akan merugikan semua pihak. Maka dibolehkan perceraian, tetapi diingatkan bahwa perceraian itu halal tapi paling dibenci Allah.
Karena itu, kalau masih bisa hidup bersama tanpa perceraian, maka pertahankan perkawinan itu. Bahkan ada yang berkata seperti berikut :
Singgasana raja itu kita ketahui betapa kokohnya. Terlebih singgasana Allah, kokohnya tidak dapat terbayangkan. Jika terjadi perceraian maka singgasana Allah yang demikian hebat kokohnya itu bergetar. Hal itu dapat diilustrasikan bahwa Allah sangat membenci perceraian dan menahan amarahnya sehingga bergetarlah singgasananya. Bukankah orang yang menahan amarahnya, tubuhnya gemetar dan singgasana tempat bersemayamnya bergetar ?
Nah, perceraian itu menyebabkan “bergetar Singgasana Allah (Istazza asrurRahman)” karena Allah sangat membencinya. Tetapi kalau ada kebutuhan yang mendesak yang tidak dapat terelakkan karena sifat-sifat dan kekurangan2 manusia, maka diperbolehkan perceraian.
Jadi kalau kita berbicara perceraian, yang ingin saya (pak Quraish) bicarakan :
1. Ketika Al Quran membolehkan perceraian, bahwa jangan beranggapan dia (Al Quran) menganjurkan perceraian. Jangan beranggapan ketika Allah menetapkan adanya perceraian bahwa itu sesuatu yang dengan gampang boleh dilakukan. Perceraian itu bukan anjuran tetapi kalau ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat terelakkan, apa boleh buat.
2. Pernah diuraikan tentang PERKAWINAN, bahwa Allah swt memberikan tuntunan2 agar perkawinan itu dapat langgeng, bahkan kelanggengannya bukan hanya sampai di dunia, tapi sampai di akhirat. Diberi tuntunannya, sebelum melamar, bagaimana sewaktu kawin, dan bagaimana mengusahakan agar kehidupan rumah tangga itu tenang, damai, sakinah, mawaddah wa rahmah.
Al Quran meminta kepada suami yang di tangannya diberi wewenang untuk mencerai isteri, bahwa berpikirlah sebelum menjatuhkan cerai. Dalam QS. An-Nisa (4) ayat 19 : “Kalau kamu tidak senang, ada dibalik sesuatu yang tidak kamu senangi sesuatu yang baik”. Itu sebabnya perceraian masih diberi kemungkinan untuk kembali sampai 2 kali bercerai. Ada talak 1, talak 2, nanti ketika talak 3, sudah putus boleh kembali tapi -ada pelajaran yang begitu keras bahwa- isterimu harus kawin dulu dengan orang lain, kemudian jika dia bercerai, kamu dapat rujuk. Itu juga sebabnya Allah melalui RasulNya menetapkan bahwa ada perceraian yang tidak bisa dinilai jatuh kalau dalam keadaan-keadaan khusus. Perceraian itu dua kali. Talak Pertama jatuh cerai, lalu diberi kesempatan kepada suami dan isteri untuk berpikir. Itu indah bukan ?
Begitu sulit persyaratan untuk jatuhnya perceraian ini, tapi begitu mudah setelah talak 1 untuk kembali. Saya beri contoh, ada di Surat Ath-Thalaq, dan kita anut pula dalam Undang-undang Perkawinan, bahwa perceraian itu dapat dinilai jatuh kalau di dalam pengadilan atau ada saksi.
Jadi kalau suami begitu marah sehingga berkata cerai, namun kalau tidak ada saksinya masih tidak jatuh cerai. Begitu sulitnya syarat terjadinya perceraian. Dalam agama juga berkata demikian, ada orang yang tidak bisa kuasai dirinya, mata gelap sehingga berkata cerai, itu dianggap tidak jatuh perceraian.
Tapi untuk kembali lagi itu mudah sekali selama masih dalam iddah. Karena Allah berkehendak demikian.
Misal seseorang sudah menceraikan isterinya, lantas orang itu melihat, tersenyum kepada isterinya dan dipegang tangan isterinya, itu sudah dianggap rujuk. Mudah bukan ? Karena Allah tidak mau ada cerai. Sekali lagi, talak 2, itupun sulit syaratnya. Namun sangat mudah untuk rujuk tetapi sangat sulit untuk cerai. Allah beri tenggang waktu. “Boleh jadi sekarang kamu benci, boleh jadi besok kebencian kamu hilang”. Sehingga Allah menciptakan sesuatu yang baru di dalam hatinya. Oo, menyesal kenapa dulu begini ? Karena Allah sangat benci perceraian.
Itu juga sebabnya. Hitunglah masa iddah itu. Kebiasaan di masyarakat kita, iddah tidak sering dihitung. Suaminya meninggal, isterinya tidak mau beriddah, Hitung iddah. Telitilah dalam perhitungan iddahnya.
Bahkan keretakan hubungan sebelum perceraian terdapat tuntunan Quran, QS. An-Nisa (4) ayat 35 : “Hai kamu (yang ada di dalam masyarakat di tengah keluarga) kalau kamu melihat ada sepasang suami isteri ada tanda-tanda percekcokan, cepat-cepat turun tangan, jangan biarkan”. Utus seorang dari keluarga isteri dan seorang dari keluarga suami, perbincangkan apa yang bisa diselesaikan. “.. kalau memang dua-duanya masih mau, Allah akan beri jalan supaya mereka baik lagi”. Kadangkala suami isteri itu saling gengsi, tapi hati kecilnya masih mau.
Kalau memang dua belah pihak keluarga memang mau untuk menyatukan kembali mereka, itu bisa terjadi. Allah akan memberikan taufiq. Kesulitannya adalah kalau pihak keluarga malah mengompori atau kipas-kipas. Itu yang tidak benar, kita tidak ikuti tuntunan Al Quran. Karena kalau memang mereka mau, Allah akan memberikan taufiq. Tuhan akan mencocokkan. Taufiq itu adalah persesuaian.
Kita sering mendengar ada hidayah dan ada taufiq. Taufiq adalah persesuaian antara kehendak saya dan kehendak Allah. Allah yang akan menyesuaikan diantara mereka berdua. Ini ditempuh agar kita jangan bercerai. Saya (pak Quraish) pernah katakan bahwa pernikahan itu dijalin oleh Allah dengan kalimatNya. Orang baru sah nikah kalau menggunakan kalimat Tuhan. Kalimat Tuhan itu luar biasa, luar biasa besarnya, luar biasa agungnya.
Kalimat Tuhan itu penuh kejujuran, penuh keadilan, tidak bisa terganti. Dengan kalimat Allah, Nabi Isa lahir tanpa ayah. Dengan kalimat Allah, Nabi Yahya lahir padahal kedua orang tua beliau sudah sangat tua. Kalimat Allah, itu buah perkawinan.
Allah ini berkehendak agar pernikahan itu langgeng. Seakan-akan orang yang bercerai, membatalkan kalimat Allah. Tapi sekali lagi, kalau memang ada kebutuhan yang mendesak, apa boleh buat.
Jadi Al Quran (Islam) tidak melarang atau tidak menutup pintu perceraian. Tapi perceraian itu pintu darurat. Kita naik pesawat, ada pintu darurat. Perlu tidak pintu darurat itu ? Perlu. Bagi yang seringkali naik pesawat, pernahkah menggunakan pintu darurat ? Belum pernah malah jangan sampai. Tapi pintu itu perlu. Sebab kalau tidak ada bagaimana ? Perlu disiapkan pintu darurat. Perceraian persis seperti itu. Itu perceraian dalam pandangan agama.
Kalau sudah cerai, bagaimana selanjutnya hubungan yang sudah bercerai ini ? Apakah bermusuhan ? Allah berpesan dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 229 : “Kalau sudah dua kali, maka kesempatan yang ketiga atau kesempatan berikutnya hanya ada dua, menahan dengan melanjutkan perkawinan dengan baik sesuai dengan adat kebiasaan (ma’ruf), atau melepasnya dengan ihsan”. Apa itu ihsan ? Apa bedanya dengan ma’ruf ?
Ada namanya ihsan dan adil. Adil yaitu menuntut semua hak kita dan memberi semua hak orang. Misalkan, si A punya hak atas si B 100 ribu, maka si B bisa menuntut 100 ribu tidak lebih dan tidak kurang pada si A. Kalau ihsan yaitu menuntut lebih sedikit dari hak kita dan memberi lebih banyak dari hak orang. Saya punya hak 100 ribu pada si C, saya menuntut hanya 90 ribu saja pada si C. Itu Ihsan.
Saya punya hak 100 ribu pada si D, kemudian si D memberi saya 110 ribu. Itu Ihsan. Jadi bercerai itu baik-baik. Jangan lantas bercerai dengan berkata “oo memang dia dasar begini, dasar begitu”. Tidak seperti itu. Bahkan anjurannya, “beri dia haknya lebih”. Jangan tuntut melebihi dari hak Anda, bahkan harus ihsan, tuntut sebagian saja, itu yang diperintah untuk ihsan.
“…Jangan lupakan hari-hari indah yang pernah berlalu”. Nah, ada jasa dia kan ? Jangan lupakan itu. Ada hari-hari bahagia, jangan lupa hari-hari bahagia kamu bersama dia. Ini tuntunan Allah. Seringkali orang yang cerai itu kan lupa, udah cekcok, keluarga ikut cekcok. Tidak, bukan begitu yang benar. Kita terpaksa bercerai tetapi perceraian yang baik.
Kalau dia kembali rujuk, dia tuntut untuk adil, tapi kalau cerai, dia dituntut untuk lebih dari adil, yaitu ihsan. Jadi seakan-akan berkata, kita pisah baik-baik, saya tidak lupa jasa-jasa kamu. Ini tuntunan agama, kenapa seperti ini ? Sekali lagi, karena perceraian terkadang dibutuhkan. Saya beri contoh saja, kita punya anak, kita didik bersama, hidup bersama kita, tabiatnya sama atau tidak dengan kita? Ada anak yang periang, ada yg lain. Bagaimana pola yang sama tapi hasilnya beda ?
Apalagi dengan orang lain, yang hidup dibesarkan oleh orang tua yang lain, sehingga perbedaan itu akan ada. Terkadang ada perbedaan yang tidak bisa ketemu. Sudah diusahakan tapi tetap saja tidak bisa ketemu. Apa boleh buat ? Kamu punya tabiat seperti itu dan isterimu punya tabiat yang lain, dan tidak bisa ketemu. Pikiranmu tidak bisa bertemu dengan pikirannya. Sehingga pada akhirnya, , suami pilih jalannya dan isteri pilih jalannya sendiri pula, tetapi pisah secara baik-baik. Namun kalau masih bisa Anda mengusahakan, yakinlah bahwa pasti Anda bisa ketemu asal mau ikuti tuntunan agama.
Pertanyaan :
1. Bagaimana dengan orang yang kawin-cerai, kawin-cerai ?
Kita bertoleransi dengan orang yang cerai sekali, sehingga punya pengalaman. Tapi kalo kawin-cerai, kawin-cerai itu namanya dia tidak pandai memilih dan dia tidak mau mengikuti tuntunan agama. Perkawinan itu bukan percobaan. Kenali calon sebelum maju untuk menikah. Kita ini manusia dan ingin menciptakan generasi, kita ingin menciptakan masyarakat yang rukun.
2. Tadi disebutkan bahwa perceraian itu halal tapi dibenci oleh Allah, apakah orang-orang yang bercerai itu juga dibenci oleh Allah ? Kemudian kalau terjadi perceraian, ada anak, upaya apa untuk membiayai membesarkan anak karena mantan suaminya tidak mau memberikan biaya ?
Orang-orang yang bercerai akan dibenci Tuhan apabila mereka tidak berupaya terlebih dahulu untuk menghindari perceraian. Seperti kita jangan dulu membuka pintu darurat pesawat sebelum keadaannya mendesak. Jadi kalau menggampangkan perceraian itu dibenci Tuhan. Lalu, mengenai anak bagaimana ? Itu problem terjadi jika perceraian tidak dilakukan secara baik-baik. Anak itu kan bukan anak ibu, itu anaknya bapak, membawa nama bapaknya. Jadi bapak musti membiayai anaknya. Kalau cerainya baik-baik, mantan isterinya akan tetap dianggap sahabat, paling tidak dia dianggap orang lain. Orang lain saja harus dia bantu, apalagi mantan isteri itu adalah ibu dari anak bapak, dia harus bantu. Persoalannya adalah karena perceraiannya tidak mengikuti tuntunan agama. Bercerai dengan bentrok, maki-makian, membawa dendam. Begitu juga dengan si isteri. Jika perceraian yang terjadi mengikuti tuntunan agama, pasti suami mau memberikan biaya untuk anaknya, pasti hubungan akan tetap baik, hanya sudah bukan hubungan suami isteri lagi.
3. Ada satu keluarga yang mempunyai anak angkat yang sudah cukup besar disamping ada 5 anak kandungnya. Isterinya baru tahu bahwa dia berhubungan tidak normal (pria-pria) dengan anak angkatnya tersebut. Isterinya mengusir anak angkatnya ini, tapi oleh suaminya anak angkatnya ditampung di suatu tempat, sehingga suami masih berhubungan dengan anak angkatnya tersebut. Lama kelamaan isterinya menuntut cerai, karena suami tidak mau dan dia masih sayang dengan isterinya, bagaimana dengan kejadian ini ?
Apa yang dilakukan oleh suami itu sangat terlarang dan terkutuk oleh agama, jelas kalau isteri tidak setuju, dan memang mustinya tidak setuju dengan kebiasaan suaminya. Hemat saya, sangat bisa dibenarkan isteri menuntut cerai. Kasusnya bisa dilaporkan ke pengadilan agama. Walaupun dia cerai, saya khawatir hubungan suami yang tidak normal masih terus berlanjut. Sikap ibu ini sangat wajar apalagi jika ingin memelihara anak-anaknya yang kandung disamping memelihara dirinya dari pengaruh suaminya yang buruk itu.
4. Ada isteri sudah bercerai karena suami selingkuh. Tapi suami masih sering datang ke rumah mantan isterinya dan masih menuntut hak rumah bila rumahnya dijual ?
Kalau suami datang dengan terhormat, dan ada orang yang melihat, itu mirip seperti kedatangan seorang tamu. Ini masih dalam batas-batas agama, asal jangan berdua-duaan, karena kalau sampai berduaan bisa timbul yang bukan-bukan. Jadi hubungan masih tetap baik. Soal rumah, rumah itu hak suami ataukah hak isteri ? Rumah itu hak isteri. Ada ayat Quran yang berkata dalam QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6: “berikanlah mereka tempat tinggal”. Jadi sebenarnya orang yang dicerai, ada yang memperbolehkan dia menuntut rumah pada suaminya. Bukan sebaliknya, hak isteri, lantas suami mau minta. Bisa-bisa saya (pak Quraish) berkata, dia berkewajiban menyiapkan rumah untuk isteri yang diceraikannya, jangan sebaliknya.
Kesimpulan :
1. Perceraian adalah sesuatu yang sangat dibenci Allah, perlu dihindari sedapat mungkin.
2. Kalaupun terjadi perceraian secara terpaksa, maka itu bukan berarti hubungan mantan suami isteri menjadi hubungan permusuhan, tetapi tetap hubungan yang baik. Saling menyebut dan mengingat-ingat kebaikan-kebaikannya, saling menyebut jasa-jasanya sehingga tidak terjadi kekeruhan diantara mereka atau antar keluarga mereka.

Sumber : http ://ariefhikmah.com